Ir.Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) keyworder pembuka kotak pandora
Perjalanan bangsa indonesia ini sudah sangat
panjang. Tetapi perjalan indonesia sebagai sebuah negara masih sangat muda.
Baru satu generasi untuk ukuran rata-rata produktif. Terbukti meskipun mereka
sudah berada pada kisaran usia yang cukup renta. Setidaknya sebagai sebuah
saksi momentum kebangkitan bangsa ini untuk mendeklarasikan sebuah negara
mereka sempat hadir. Mungkin ingatan mereka masa itu belum terlalu cukup kuat
untuk merekam sebagian besar peristiwa jika mereka lahir dikisaran tahun
1940-an, tetapi mereka yang lahir sebelum tahun 1930-an tentu lebih memiliki
tingkat ingatan sejarah yang cukup matang. Sayangnya usia saat ini merengkut
sebagian besar ingatan mereka karena usia mereka tentu sudah di atas 80-an
tahun.
Bagaimana dengan peristiwa 1926, era 1948 dan
masa 1965 hingga tragedi 1998 ?. untuk mereka yang menyaksikan era 1965 pada
umumnya masih memiliki kualitas ingatan yang sempurna tentang memori sebuah
peristiwa kejahatan politik masa itu
Kita semua tidak sepenuhnya sependapat bahwa
“Ahok” adalah penjahat dalam kasus yang beliau alami. Bahkan Ahok justru memang
bukan penjahat. Tetapi tergantung kita menggunakan sudut pandang siapa, tingkat
kontras pandangan dan kejujuran pada kepentingan apa kita melihat dan memberi
hukum pada apa pun objek yang menjadi alasan .
ini adalah hukum “relativitas”. Setiap orang boleh mengemukakan
pendapatnya menurut sudut pandang dan kapasitas pengetahuannya. Yang menjadi
tolak ukur ketika pendapatnya akan dijadikan rujukan publik adalah, sudut
pandang yang didasari oleh hukum relativitas tersebut harus bebas dari
sentimentil dan jujur.
Banyak para pengamat politik di media
elektronik saat ini adalah pengamat yang tidak memiliki karakter mental yang
kuat independensinya. Secara kasat mata, Boni hargens misalnya. Tidak ada
keluesan dalam setiap teknik pengutaraan data. Sehingga setiap argumentasinya
hanya berdasar pada pelepasan emosi yang ini menjadi alasan mengapa Prof.Rocky
gerung memberi footnote sebagai
“dungu”. Sebuah tendensi dan estetika buruk bagi seorang pengamat yang
memperoleh label tersebut.
Dari sudut pandang manapun setiap mereka pasti
memiliki kepentingan pada kekuasaan yang telah menjadi fitrah manusia. Hanya
ragam latar belakangnya yang membuat seolah-olah ada pelaku kejahatan dan ada
korban kejahatan. Keduanya memiliki kedukukan yang sama pada point of view masing-masing pihak.
Ir.Basuki tjahaya purnama atau Ahok tergantung
dari sudut pandang siapa dan frame siapa yang digunakan sebagai subjek
penilaian. Tersebar luasnya rekaman Buni
Yani yang berimplikasi pada kontradiksi publik secara luas dapat diadili dengan
hukum relativitas baik dari mereka yang pro maupun yang kontra terhadap
peristiwa ini. Bagaimana framingnya dan siapa korban sebenarnya serta siapa
pemulung yang paling “hoki” dalam hal ini. Semuanya akan bermuara pada “Cuan”
dan “Cien”. Penulis juga tahu bahwa tidak semua sependapat dengan opini ini.
Tetapi berusaha menyajikan sebuah pendapat yang diharapkan akan mampu menjadi “Radiator” yang bebas dari kepentingan
yang memihak.
Ir.Basuki tjahaya purnama menjadi momentum
bagi sebagian kelompok yang selama ini merasa terdiskriminasi untuk bangkit.
Tetapi juga menjadi momentum bagi para penunggang kuda hitam yang siap
mendulang keuntungan besar tanpa pengorbanan yang begitu berarti. mungkin ini
juga bagian dari susunan rencana besar yang dibangun sangat cukup lama bagi
kelompok minoritas untuk tampil sebagai superior. Kemudian tatanan sosial dan
tatanan politik menjadi berubah persis seperti rencana yang telah mereka
agendakan. Politik dan momentum, bahwa tim dari kelompok kecil secara psikologi
memiliki tingkat soliditas yang lebih kuat dari pada kelompok besar karena
mereka lebih mudah terjebak pada euforia.
Sejarah sangat cerdas membuktikan berbagai
peristiwa penting yang saat ini menjadi monumen rujukan banyak orang baik
secara sadar maupun tisdak sadar. Bahwa Musa atau Mosses mampu meruntuhkan
kediktatoran yang hampir dianggap mustahil. Bahwa Muhammad dan pasukannya mampu
memenangkan perang dengan jumlah tentara yang lebih kecil. Dan ini bisa menjadi
mungkin bahwa indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar biasa hancur
oleh kelompok kecil yang selama ini tidak terbayangkan. Jangan katakan ini
mustahil dan dilihat secara tidak proporsional sehingga publik atau anda akan
menilai penulis sebagai penyadang penyakit jiwa akut.
Kita selalu di beri sajian khas setiap
musimnya pada hal-hal yang tampak nyata seperti kebangkitan komunisme atau
pilihan lain yakni khilafah. Padahal bisa jadi bukan ini objek finalnya.
Mungkin ada kelompok kecil yang telah membangun rencana kuat untuk mengganti
sistem agama, sosial dan politik di indonesia. Sebelum negara kesatuan republik
indonesia (NKRI) berdiri, telah berapa banyak negara yang ada di nusantara yang
saat ini hanya ada dalam catatan sejarah dan nyaris dilupakan.
Setiap detik masyarakat di sibukkan dengan
sajian informasi yang padat tentang isu komunisme dan isu khilafah. Kedua kubu
seolah saling menunjukan eksistensinya. Para pengamat sosial dan politik
cenderung memiliki amnesia pada kejadian yang baru berlalu 7 menit yang
sebelumnya. Tidak memiliki konsitensi berfikir dan menyerahkan kedaulatan
pribadinya sebagai “penjilat”. Tidak objektif. Padahal mungkin dan sangat hampir
dipastikan ada “atom” sebagai kekuatan kecil yang akan menghancurkan dari dalam
yang mereka saat ini tidak terlihat akibat dari framing-framing kedua kubu ini.
Dari sudut pandang pro islam, ahok adalah
penjahat tetapi pahlwan dari pihak lain. Dan demikian juga pendukung khilafah
yang menganggap kelompoknya adalah pahlawan sementara kelompok yang
berseberangan menganggap mereka penjahat. Tetapi ada kelompok kecil yang
menganggap kedua kelompok ini adalah pahlawan bagi mereka. Baik pendukung isu khilafah maupun isu komunisme. Kelompok kecil
ini tentu bukan dari pendukung komunisme maupun pendukung khilafah. Tetapi
mereka bisa saja tiba-tiba muncul sebagai penunggang kuda hitam dan siap
mendeklarasikan kelompok mereka sebagi penguasa. “Who is that ?’’.
Waspada dengan euforia terhadap apa yang
sedang berpihak pada kita saat ini, waspada dengan euforia terpenjaranya Ahok
tau berkuasanya Ir.Joko Widodo. Waspada terhadap euforia reuni 212 yang
kesemuanya diklaim sebagai sukses besar terhadap momentum kebangkitan oleh
masing-masing pendukung. Boleh jadi ini adalah proses seleksi alam. Bukan
khilafah atau komunisme yang akan memperoleh peruntungan. Tetapi kelompok kecil
yang saat ini masih dalam bentuk janin dan siap lahir. Siapa nama mereka ?.
kita tidak tahu. Tetapi sejarah telah banyak memberi kesaksian terhadap
peristiwa-peristiwa seperti saat ini beribu tahun yang lalu dan teori ini tetap
memiliki relevansi.