Islam Seremoni dan Pemurtadan Sistemik Dalam Isu Sosial – Politik Global
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan di
bumi. Islam adalah agama termuda yang memiliki jalan sejarah yang cukup
berliku. Kabar tentang akan turunnya agama terakhir dan pembawa ajaran tauhid
tersebut bukan hal baru. Karena jika dilihat kembali pada kitab suci agama
terdahulu, tentang datangnya islam telah lama diramalkan. Akan tetapi jika
kemudian terdapat penolakan dari para pembawa ajaran sebelum islam adalah
karena bahwa eksistensi para pemuka agama terdahulu merasa kedudukannya didalam
lingkungan sosial mereka menjadi terancam. Ini hanya satu dari sekian banyak
alasan. Secara psikologi, para pemuka agama sebelum islam akan menganggap
kedatangan agama islam sebagai ancaman terhadap strata sosial yang telah mereka
miliki selama ini. Dalam arti lain. Bahwa penolakan mereka bukan berdasar atas
keimanan terhadap agama mereka yang sesungguhnya. Salah satu contoh adalah,
kabar tentang kenabian rasulullah Muhammad S.A.W. justru berasal dari seorang
pendeta nasrani yang memberitakan bahwa seorang anak kecil yang hendak dibawa
berdagang tersebut adalah calon seorang nabi. Pendeta nasrani tersebut telah
melihat tanda nubuah kenabian pada anak tersebut yang bernama Muhammad bin Abdullah.
Dan hal ini juga telah diramalkan dan tertulis dalam kitab – kitab agama selain
kitab agama nasrani yakni injil. Dalam hal ini kita tidak sedang memperdebatkan
tentang injil palsu atau injil asli. Tetapi lebih menekankan pada kesaksian
rohani seorang pendeta atas keimanannya terhadap kitab injil yang telah
menjelaskan tentang akan datangnya rasul penutup zaman. Sebagaimana dalam injil
dan dalam al-qur’an bahwa nama seorang putra tersebut tercatat sebagai “Ahmad”.
Bagaimana dengan sikap para pemuka agama
yahudi ?. mereka tidak akan menerima begitu saja tentang kenabian Rasulullah
Muhammad S.A.W. sebagaimana mereka juga menolak tentang kenabian Isa Almasih
putra Maryam (Yesus). Jika dilihat dari sudut pandang ilmu psikologi sebenarnya
penolakan mereka bukan atas dasar keimanan yang melekat pada hati mereka
terhadap janji – janji Allah. Tetapi lebih pada ketakutan mereka terhadap
eksistensi mereka dan keturunan mereka. Ini seperti halnya sistem dinasty atau
pola kerajaan. Para pemuka agama yahudi merasa dinasty mereka akan musnah jika
dinasty baru berkuasa. Ini lebih berdasar atas sikap egoisme yang wajar bagi
mereka yang telah memilki legitimasi dalam strata sosial. Dan kecenderungan
manusia adalah ketakutan pada kekalahan dan bayang – bayang kehilangan terhadap
sesuatu.
Beberapa banyak dari kita masih menganggap ini
hanyalah sejarah yang tidak perlu diungkit dengan alasan demi persatuan dan
kesatuan serta kedamaian dunia. Tetapi ada hal mendasar yang mempengaruhi
psikologi dari setiap mereka yang masih memegang doktrin sejarah tersebut.
Sugesti sejarah yang diturunkan secara terus menerus dengan dogma – dogma agama
sebagai dasarnya tentu sangat kuat karena ini menyangkut nalar alam bawah sadar
semua orang. Sebagimana seorang yang sejak kecil alam bawah sadar mereka kita
tanamkan sebuah ideologi secara terus – menerus dengan sugesti bahwa dia harus
melakukan sesuatu hal sebagai sebuah kebenaran padahal hal tersebut salah
secara nalar dan moral. Ini disebut dengan fanatisme.
Fanatisme adalah keadaan dimana alam bawah
sadar telah memegang sebuah kendali psikologi dari doktrin – doktrin yang
tertanam kuat tanpa ruang untuk bernegoisasi. Fanatisme ternyata bisa dibentuk
melalui sugesti lingkungan yang mempengaruhi. Seorang orator adalah orang yang
paling baik dalam membangun psikologi mereka untuk tunduk terhadap doktrin
tertentu. Mereka yang paling mampu menjalankan tugas ini adalah mereka yang
memiliki strata sosial lebih tinggi terutama dalam hal ekonomi. Sebagai contoh,
bahwa sikap orang jawa yang meyakini bahwa raja adalah kebenaran mutlak.
Demikian juga halnya tentang doktrin sebuah ajaran agama. Ini sangat mudah
mempengaruhi mereka yang hidup dalam ruang sangat terbatas. Dalam lingkungan
yang marjinal. Dan dalam kultur budaya yang tidak responsive.
Hal ini berlaku secara umum. Bukan mendikte
pada satu agama tertentu. Agama sebagai penyampai ajaran moral dan politik
sebagai sarana untuk mencapai tujuan menguasai keadaan sosial tentu saling
mempengaruhi. Bagaimana mungkin agama tersebar luas tanpa bersinggungan bahkan
dukungan politik. Politik dalam makna yang berbeda menurut pandangan masyarakat
awam selama ini yang berarti hanya pada kekuasaan negara semata. Politik adalah
cabang ilmu seni bagaimana menguasai dan mengendalikan banyak orang. Politik
selalu diwarnai dengan sugesti psikologi masyarakat untuk memperoleh dukungan
terhadap doktrin yang ingin ditanamkannya. Demikian pula bagaimana agama itu
dapat menyebar luas. Saat ini kita tidak sedang memperdebatkan tentang
kekuasaan tuhan untuk menyebarkan agama yang tuhan turunkan. Agama adalah
naluriah semua individu. Bahwa secara
logika seseorang yang berada pada puncak ketidak berdayaan akan berusaha
mencari jalan keluar bahkan menciptakan ilusi – ilusi alam bawah sadar yang
menjadi kekuatan maha dahsyat.
Kembali pada topik awal tentang islam seremoni
dan pemurtadan sistemik. Dalam sebuah ilmu politik ada terdapat istilah
infiltrasi. Infiltrasi adalah sebuah cara menghancurkan sesuatu kekuatan dengan
membangun kekuatan didalam kekuatan tersebut dengan cara melemahkan sistem –
sistem kekuatannya. Jika secara politik pemuka agama terdahulu yang merasa
eksistensi dinastynya terancam dan benar – benar nyaris musnah. Maka strategi
lama yang mereka gunakan dengan cara melakukan orasi – orasi penolakan seperti
pada masa – masa awal dinasty (agama) baru tersebut lahir sudah sangat tidak
relevan. Sehingga cara infiltrasi sepertinya menjadi sangat ampuh untuk
melemahkan kekuatan dinasty baru tersebut.
Dan ini adalah pengulangan sejarah.
Di zaman digital sekarang ini. Teknologi
menjadi internet menjadi senjata paling canggih untuk melumpuhkan mereka yang
dianggap lawan. Ketika sebagian dari kita masih disibukkan dengan kepungan
spiritualisme yang sempit. Masih tersugesti dengan mantra sebagai kekuatan
tanpa tindakan fisik sementara yang lain telah siap dengan kepungan teknologi
nyata.
Jauh sebelum ini, pembawa agama islam
rasulullah S.A.W telah memperhitungan bahwa situasi ini akan terjadi. Secara
politik beliau telah menyadari bahwa kekuatan yang beliau bangun akan mungkin
dikalahkan. Dalam dunia politik cara penyampaian pesan rahasia dengan istilah
“triksandi” menjadi andalan bagaimana agar pesan dapat tersampaikan dengan
sangat aman sampai kepada tindakan nyata pada pesan tersebut. Dalam hal ini,
setiap kitab suci agama memilki pesan triksandi masing – masing untuk
mempejuangkan eksistensinya. Dan dalam hal ini, al-qur’an adalah sebuah kitab
dengan pesan triksandi paling fenomenal. Karena hanya pada tingkat kecerdasan
tertentu pesan dalam triksandi tersebut dapat disimpulkan tidakan seperti apa
yang semestinya dilakukan. Sementara di luar itu, argumentasi panjang tentang
maksud pesan triksandi tersebut sangat bias dan terkadang lepas kontrol dan
justru jauh dari tujuan pesan tersebut. Isi dalam al-qur’an adalah satu
kesatuan utuh yang saling mendukung kuat
dan tidak satu pesan pun yang saling bertentangan. Ketika seseorang
menyimpulkan satu pesan kemudian menganggap bahwa pemahamannya final tetapi
ternyata faham tersebut bertentangan dengan salah satu pesan dalam kitab
tersebut maka dapat dipastikan bahwa fahamnya belum final. Maka hal tersebut
belum boleh dijadikan satu dasar untuk melakukan sebuah tindakan konkrit. Harus
selaras antara pesan tekstual dan tindakan kontekstual.
Salah satu contoh. Apakah tindakan bom bunuh
diri itu sebuah tindakan yang dibenarkan dalam pesan triksandi tersebut. Atas
nama jihad dan mati dalam keadaan jihad akan memperoleh hadiah berupa keindahan
alam surga ternya bertentangan dengan satu pesan dalam salah satu kesatuan
pesan yang harus saling mendukung tersebut. Dalam salah satu pesan yang
tertulis justru menyangkal bahwa tindakan bom bunuh diri itu adalah jihad yang
akan memperoleh hadiah surga. Disitu di tuliskan tentang “haramnya perbuatan
bunuh diri”. Lalu bagaimana mungkin bom bunuh diri dikatakan benar jika
perbuatan tersebut justru menentang salah satu perintah dalam pesan tersebut.
Tentu bagi mereka yang memiliki tingkat intelektual sangat tinggi sebagai
seorang jenius akan menyadari bahwa doktrin yang disampaikan tentang bom bunuh
diri sebagai jihad adalah “ Salah”.
Iman yang yang sampai pada tingkat tertentu adalah iman berdasar pada tingkat
intelektual tinggi dan mereka yang beriman dengan itu disebut sebagai orang
jenius. Sementara mereka yang beriman karena fanatisme buta adalah mereka yang
disebut berintelektual rendah. Jelas dalam pesan tersebut. Surga adalah hadiah
yang pantas buat mereka yang memiliki kejeniusan tinggi. Para nabi adalah
mereka yang memilki kejeniausan di atas rata – rata manusia biasa. Sehingga
pandangannya terhadap masa depan adalah pandangan yang akan segera terbukti.
Mereka memilki ketinggian imaginer melebihi para filosof.
Dalam hal ini dapat disimpulkan sementara
bahwa para pelaku terorisme yang bertindak dilapangan sebagai eksekutor adalah
mereka yang memilki tingkat intelektual rendah, sehingga sangat mudah
terdoktrin oleh ilusi – ilusi sederhana tanpa pertimbangan naluri. Sementara di
belakang mereka adalah para aktor intelektual yang mungkin saja berasal dari
para pelaku infiltrasi. Mereka berasal dari luar dinasty yang berkerja seolah –
olah sebagai anggota dinasty (islam). Boleh jadi mereka dari kalangan penganut
atheis atau sejenis itu. Dengan kekuasan dan kekayaan yang sangat berlimpah
mereka akan sangat mudah membuat sebuah rencana dan mengeksekusi rencana
tersebut tanpa menimbulkan tuduhan. Kekuasaan mereka yang besar terhadap media
masa termasuk media internet menjadi alat paling ampuh untuk melegalkan cara –
cara mereka dalam perang nyata. Salah satu tindakan mereka antara lain dengan
mempublikasikan secara terus menerus para da’i – da’i yang lebih komersil dan
memboikot para pendakwah yang benar- benar berusaha menyampaikan faham dari
pesan triksandi dalam al-qur’an. Sehingga keadaan sosial menjadi sangat kacau.
Rakyat yang menjadi anggota dinasty tersebut saling curiga dan saling
melemahkan. Mereka yang jujur harus dibungkam dan mereka yang bersedia
melakukan negosiasi untuk (tanpa sadar) melemahkan semangat pendukung dinasty
terus mereka publikasikan dengan imbalan uang yang berlimpah. Satu golongan
dengan golongan lainnya dalam satu dinasty saling meng-kafirkan. Landasan
mereka untuk mengkafirkan satu sama lain tidak lagi berdasar atas apa yang
tertulis utuh dalam al-qur’an.
Bayangkan fakta yang terjadi saat ini. Ritual
keagamaan di media masa hanya bersifat seremonial. Ceramah murahan yang tidak
membangun sugesti keimanan ke alam bawah sadar dan hanya bersifat hiburan
semata. Sementara di lain pihak ada golongan yang bersikap tergesa – gesa.
Lahir para ahli agama yang mereka sebut sebagai “ulama” dengan latar belakang
keilmuan yang belum jelas tiba – tiba muncul di media sebagai figur publik dan
setuju ikut menyebarkan isu untuk mendiskreditkan golongan lain dengan doktrin
“ kafir”.
Faktanya masyarakat sangat kuat dalam hafalan
keagamaan tetapi nihil dalam tindakan. Yang paling mengerikan hafalan mereka
tidak dilanjutkan tentang bagaimana maksud pesan tersebut disajikan dan ada
pesan apa serta kesimpulan apa dalam pesan triksandi tersebut. Akhirnya, secara
tidak sadar telah terjadi pemurtadan sistemik dan pemujaan terhadap ritual
seremoni.
Kekacauan seperti ini ternyata justru menjadi
alat dalam tindakan politik praktis. Sesama umat islam sendiri justru saling
munuduh bahwa selain dari sikap dirinya terhadap pemahaman dan cara pengamalan
agama disebut “ kafir”. Terlebih terhadap mereka yang di luar agamanya.
Sehingga fanatisme yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang tertulis dalam
pesan tersebut. Pemahaman mereka tentang makna” tiada tuhan selain Allah”
justru menjadi alat untuk mengklaim bahwa agama lain salah dan harus diperangi.
Padahal makna pesan sebenarnya bukan demikian. “tiada tuhan selain Allah”
memiliki makna yang sangat dekat dan luas. Sebagai bentuk bahwa seseorang yang
memilki kecerdasan tinggi atau jenius (beriman) berarti memiliki kedaulatan
pribadi yang tinggi. Cara sikap dan pandangannya adalah bahwa Allah berdaulat
atas dirinya dan melihat bahwa segala apa yang ada disemesta hakikatnya adalah
keesaan Allah. Sehingga bagaimana mungkin seseorang akan melakukan tindakan makar
terhadap tuhannya seperti membunuh diri sendiri sekaligus membunuh orang lain.
Bagaimana mungkin orang jenius (beriman) akan menciptakan ketakutan terhadap
lingkungannya (terorisme) padahal seseorang tersebut sadar bahwa tindakan
tersebut adalah sebuah tindakan makar terhadap tuhan dalam satu kesatuan makna
“tiada tuhan selain Allah”.
Bahwa islam seremoni adalah sebentuk tindakan
pemurtadan secara sistematik. Menjauhkan dari kejeniusan ( iman). Bahwa inti
dari ibadah adalah penyataan sikap secara secara sadar “tiada tuhan selain
Allah” secara menyeluruh sebagai bentuk tindakan konkrit dari pesan yang
tertulis dalam al-qur’an. Bahwa ibadah bukan sekedar nyanyian dan mantra –
mantra yang menghipnotis dengan ilusi – ilusi kosong. Ibadah adalah tindakan
nyata untuk menyadari bahwa tuhan berdaulat penuh atas dirinya sehingga dirinya
tidak berhak sedikitpun atas tindakan apapun yang menentang kedaulatan Allah.
Membunuh diri sendiri, melakukan terorisme, mengkafirkan orang lain bahkan
untuk membunuh seekor binatang sekalipun terdapat adab – adab yang diwajibkan.
Karena kita yakin bahwa Allah berdaulat atas binatang tersebut.
Bagaimana mungkin seseorang yang kita anggap
berpengetahuan tinggi (beriman) memerintahkan kita untuk membunuh orang lain
dengan doktrin jihad untuk memperoleh surga sedangkan kita dengan segala
kecerdasan yang kita miliki meyakini bahwa hal itu adalah tindakan makar
terhadap kedaulatan Allah. Bukankan surga itu salah satu hak kekayaan dari
kedaulatan Allah. Kemudian kita berimajinasi memasukinya setelah melakukan
tindakan makar terhadap Allah.
Saat ini sudah saatnya untuk kembali membangun
kecerdasan umat islam dan umat – umat lain dalam memaknai tentang keimanan (
jenius). Bahwa agama bukanlah sebuah warisan budaya dan adat istiadat. Agama
adalah kesadaran semangat pada penghambaan terhadap moralitas. Penghargaan
terhadap nilai – nilai humaniter. Agama lahir dari kecerdasan intelektual untuk
membuat keputusan yang bijaksana berdasar pesan – pesan tekstual yang berbentuk
pesan triksandi yang hanya dapat difahami dengan menggunakan kecerdasan tingkat
tinggi. Al-qur’an adalah kitab dengan pesan triksandi paling tinggi nilai
linguistik dan fahamnya. Budiono